Jumat, 20 Juni 2008

Mempercantik Blog Dengan Gadget

Mempercantik Blog Dengan Gadget
Diposting oleh IYeeS


Anda sering melihat tampilan Blog yang menarik, dilengkapi dengan tampilan tampilan jam, kalender, Blog messege, dll.. ?? caranya mudah dan gampang kok. coba anda buka web blog http://iyees.blogspot.com/
anda akan mendapatkan banyak gadget yang menarik. tinggal clik add to your page dan get codenya anda sudah bisa menampilakan beberapa tampilan tambahan di blog anda. dan Untuk menempatkan pada Blog (Untuk Blogspot) ini caranya :
  1. Ambil Gadget dari Link di atas, kemudian copy kode gadgetnya.
  2. Buka Blogspot dengan menggunakan acount anda, kemudian masuk ke Tata Letak/Layout
  3. add Page Element/tambah elemen halaman pilih HTML/JavaScript kemudian clik tambahkan ke BLog.
  4. Setelah itu akan muncul konfigurasi HTML/JavaScript, paste script gadget yang tadi pada Textbox Konten. untuk pemberian judul itu terserah anda. dan simpan.
  5. Anda bisa mengatur susunan gadget sesuai dengan keinginan anda, coba lihat hasilnya pada tampilan blog anda... selamat mencoba.....;0)

Kamis, 19 Juni 2008

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN

PRAGMATISME PENDIDIKAN
( Telaah Atas Pemikiran John Dewey )
Oleh: Tauhid Bashori
Pengantar


Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.

Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Makalah ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
Kehidupan John Dewey

John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.

Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.

Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.

Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).

Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
Sekilas Tentang Pragmatisme

Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.

Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.

Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).

Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).

Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.

Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
Pengalaman dan Pertumbuhan

Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.

Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.

Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.

Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
Tujuan Pendidikan

Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.

Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.

Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.

Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.

Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.

Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.

Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.

Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.
Tinjauan Kritis

Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.

Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.

Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.

Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.

Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.

Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.

Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis. @

TUGAS-TUGAS PSIKOLOGI PENDIDIKAN SEMESTER 2

TUGAS KE 1

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

REMAJA

[ Selasa, 27 Juli 2004 | 3666 pembaca ]

Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.

Setiap tahap usia manusia pasti ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui. Bila seseorang gagal melalui tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi masalah pada diri seseorang tersebut. Untuk mengenal kepribadian remaja perlu diketahui tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain:

Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif

Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu. Misalnya si Ani merasa kulitnya tidak putih seperti bintang film, maka Ani akan berusaha sekuat tenaga untuk memutihkan kulitnya. Perilaku Ani yang demikian tentu menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin Ani akan selalu menolak bila diajak ke pesta oleh temannya sehingga lama-kelamaan Ani tidak memiliki teman, dan sebagainya.

Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar.

Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin
Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini. Ada sebagaian besar remaja yang tetap tidak berani bergaul dengan lawan jenisnya sampai akhir usia remaja. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakmatangan dalam tugas perkembangan remaja tersebut.

Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri

Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun).

Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti siapakah "aku" ?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dorongan dalam dirinya.

Selain tugas-tugas perkembangan, kita juga harus mengenal ciri-ciri khusus pada remaja, antara lain:

- Pertumbuhan Fisik yang sangat Cepat

- Emosinya tidak stabil

- Perkembangan Seksual sangat menonjol

- Cara berfikirnya bersifat kausalitas (hukum sebab akibat)

- Terikat erat dengan kelompoknya

-Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:

1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun

a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya:

- Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi

- Anak mulai bersikap kritis

b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:

- Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya

- Memperhatikan penampilan

- Sikapnya tidak menentu/plin-plan

- Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib

c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya:

- Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya

- Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria


2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun

Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:
- Perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis

- Mulai menyadari akan realitas

- Sikapnya mulai jelas tentang hidup

- Mulai nampak bakat dan minatnya

- Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.[sumber:www.iqeq.web.id]

TUGAS KE 2

KISAH PRIBADI YANG BERKAITAN DEGAN

KEHILANGAN KEPERCAYAAN DIRI

Pubertas

Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat indah bagi setiap orang pada umumnya, karena pada masa inilah seseorang akan mengalami kebahagian seperti kebahagian saat menangis, jajan, bermain dengan teman-teman dll. Namun masa yang sangat indah ini tidak akan kita rasakan selamanya karena setiap orang akan mengalami masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa yang ditandai dengan mimpi basah bagi laki-laki dan mens bagi perempuan masa ini dinamakan masa pendewasaan seseorang (akil baligh). Pada masa peralihan ini setiap orang akan mengalami masa pubertas bagi laki-laki maupun perempuan. Pada masa pubertas inilah saya mengalami masa dimana kepercayaan diri saya hilang yaitu saat saya berumur 12 tahun, hal yang membuat saya merasa tidak percaya diri antara lain yaitu munculnya jerawat di wajah saya sehingga membuat wajah saya bintik-bintik merah yang menyakitkan yang menjadi perhatian orang banyak. Selain membuat rasa percaya diri saya hilang saya juga merasakan syok berat yang mengakibatkan saya malas untuk main keluar rumah dengan teman-teman saya sehingga saya lebih banyak main di dalam rumah sendirian dari pada di luar rumah denganteman-teman, karena malu kalo jerawat saya di lihat teman-teman saya dan takut kalo-kalo terkena debu dan terkena sinar matahari yang membuat jerawat saya malah makin parah. Semenjak saya jerawatan saya menjadi seorang yang pemalu, menjadi sering ngaca, rajin cuci muka, jarang bergaul dan keluar rumah, menguangi makanan yang berbau minyak dan telur. Sayapun langsung mengambil tindakan penyembuhan di kerenakan jerawat di wajah saya tidak kunjung sembuh namun jmlahnya malah semakin banyak. Tindakan yang saya lakukan antara lain lebih banyak berkonsultasi dengan nyokap, dokter, curhat dengan teman dekat, mencoba pengobatan tradisional, dan hidup sehat lainnya. Akhirnya berkat kesabaran dan usaha yang saya lakukan serta support dari orang-orang terdekat saya. Membuat kepercayaan diri saya bangkit kembali, karena hal yang saya alami ini adalah hal yang wajar yang pasti di alami oleh semua orang untuk menuju ke jenjang kedewasaan, jadi bukan saya saja yang mengalami hal yang menyebalkan ini. Kepercayaan diri saya semakin kuat setelah saya menemukan obat yang cocok untuk mengobati jerawat saya, sehingga jerawat saya dari hari kehari semakin membaik dan sembuh dari sebelum-sebelumnya. Akhirnya masa pubertas itu pun terlewati setelah saya berumur 18 tahun, sehingga saya menjadi lebih percaya diri dan tidak malu lagi untuk bergaul dengan teman-teman saya dan melakukan aktivitas lainnya. Selain dari itu saya pun menjadi seorang yang rajin sekali bersih-bersih dan selalu merawat diri. mudah-mudahan saja pengalaman yang saya alami ini dapat bermanfaat bagi yang membaca, amin.

TUGAS KE 3

KENAKALAN REMAJA

SOAL:

Berikan pendapat Anda tentang mengapa para remaja sering melakukan tindakan kriminal ?

Jawaban.!

Menurut PIAGET Perkembangan KOGNITIF ANAK dikelompokkan dalam 4 tahapan:
1. Sensori Motor (usia 0-2 tahun)

Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya.
Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah 'menangis'.
Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak (panggung boneka akan sangat membantu).

2. Pra-operasional (usia 2-7 tahun)

Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis - rumit.
Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.

3. Operasional Kongkrit (usia 7-11 tahun)Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis.
Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa.
Misalnya: Analogi 'hidup kekal' - diangkat menjadi anak-anak Tuhan dengan konsep keluarga yang mampu mereka pahami.

4. Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas)Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga.

Ada kesulitan baru yang dihadapi guru saat memfasilitasi peserta didik, sehingga guru harus menyediakan waktu lebih banyak agar dapat memahami terjadinya perubahan dalam proses perkembangan yang sedang dihadapi peserta didik, terutama ketika memasuki usia pubertas.

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.

Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.

Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks bebas ? Apa yang salah dari semua ini?

Remaja adalah mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun, yang akan mengalami periode perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut :

Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun)

Masa pubertas (14 - 16 tahun)

Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun) Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)

Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun)

Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ- organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja.

Pada fase Remaja, terjadi perkembangan intelektual yang sangat pesat, sehingga seringkali remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut.Ekspresi ini menunjukkan pula terjadinya proses erosi percaya diri, namun bisa pula terjadi perkembangan positif seperti meningkatnya rasa percaya diri.

Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.

Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat.

Masa pubertas (14 - 16 tahun)

Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.

Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.

Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)

Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya.

Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)

Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.

Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.

Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.

Para pembimbing Remaja dan Guru, diharapkan memahami masalah perkembangan remaja secara utuh, sehingga mampu memberikan bantuan yang sekaligus berperan sebagai solusi bagi masalah yang sedang dihadapinya.

sumber :
http://edukasipress.wordpress.com/
http://intanfw313.blogspot.com/
http://darsanas.multiply.com/

TUGAS KE 4

Berikan informasi tentang proses psikologi yang berpengaruh dalam proses belajar. Yaitu: motifasi, ingatan, perasaan, fantasi, perhatian, pengamatan, dan tanggapan ?

JAWABAN

Menurut buku:

1. Motivasi adalah dorongan atau kekuatan dari dalam diri seseorang yang mendorong orang bertingkahlaku atau berbuat sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

2. Perasaan adalah keadaan pada ridi seseorang yang muncul ketika terpadu secara pribadi dengan situasi yang ditempatinya.

3. Perhatian yaitu emmepunyai tugas selektif terhadap rangsangan-rangsangan yang mengenai/sampai kepada individu.

4. ingatan adalah kesan-kesan pengalaman masa lalu yang tertinggal jejaknya pada otak kita, selau ada secara sadar dan dapat ditimbulkan kembali.

5. tanggapan adalah bayangan/kesan kenangan dari pada apa yang pernah kita amati/kenali.

6. fantasi adalah suatu daya jiwa untuk menciptakan tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan tanggapan-tanggapan yang ada pada diri kita, menciptakan sesuatu yang baru dalam jiwa.

7. Pengamatan adalah bagaimana seseorang dapat mengenali lingkungan hidupnya karena untuk mempermudah seseorang tersebut meahami kehidupannya melalui pengamatannya.

Pendapat saya :

1. Motivasi adalah dorongan dalam diri yang timbul karena adanya stimulus dari luar diri kita.

2. Perasaan adalah sesuatu yang ada didalam diri kita, dimana terdapat rasa terhadap sesuatu baik terhadap hal-hal yang baik maupun buruk seperti marah, sedih, senang, bahagia dsb.

3. ingatan adalah suatu informasi yang masuk kedalam otak kita, mengendap dan menjadi suatu ingatan bagi kita, dimana ia melekat dan dapat kita panggil ketika kita butuhkan.

4. fantasi adalah semacam khayalan yang kita inginkan, yang ktia buat didalam otak kita dan bukan kenyataan.

5. perhatian adalah sesuatu yang kita lakukan terhadap sesuatu dengan melalui panca indera kita, dimana yang tadinya kita tidak tahu menjadi tahu.

6. pengamatan adalah sesuatu yang kita perhatikan dan terus-menerus kita perhatikan sampai akhirnya kita menganalisa apa yang kita perhatikan tersebut dan mencoba terus mengetahui dan mengerti apa yang kita perhatikan sehingga menjadi suatu pengamatan pada kita.

7. tanggapan adalah response atau timbal balik kita terhadap sesuatu yang datang dari luar diri kita.

TUGAS KE 5

PANDANGAN FILOSOF

JOHN DEWEY, WILLIAM JAMES, .TOHRNDIKE TENTANG

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

(A). WILLIAM JAMES (1842-1910).

Dalam pembahasan mengenai metode susunan kebiasaan, james memberikan 4 aturan dasar, yaitu:

a. Lengkapi dirimu dengan kekuatan dan ambillah keputusan secepat mungkin.

b. Tidak ada pengecualian dalam kesempatan sampai kebiasaan baru telah tertanam dihidupmu.

c. Ambillah kesempatan yang paling pertama saat mengambil tindakan.

d. Jagalah kebiasaan itu agar tetap ada dengan memberikan dorongan kecil setiap hari.

(B). JOHN DEWEY (1809-1882).

Bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu peroses ,dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat.

Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat intrumentalisme. Filsafat intrumentalisme dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengatahuan berpangkal pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman.

(C). L. TOHRNDIKE

L. Thorndike

Di dalam pembahasan akan difokuskan pada teori belajar orang dewasa. Ada aliran inkuiri yang merupakan landasan teori belajar dan mengajar orang dewasa yaitu : “scientific stream” dan “artistic atau intuitive/reflective stream”. Aliran “scientific stream” adalah menggali atau menemukan teori baru tentang belajar orang dewasa melalui penelitian dan eksperimen . Teori ini diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike dengan pubilkasinya “ Adult Learning”, pada tahun 1928.


Pada aliran artistic, teori baru ditemukan melalui instuisi dan analisis pengalaman yang memberikan perhatian tentang bagaimana orang dewasa belajar. Aliran ini diperkenalkan oleh Edward C. Lindeman dalam penerbitannya “ The Meaning of Adult Education” pada tahun 1926 yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pendidikan John Dewey.
Menurutnya sumber yang paling berguna dalam pendidikan orang dewasa adalah pengalaman peserta didik. Dari hasil penelitian, Linderman mengidentifikasi beberapa asumsi tentang pembelajar orang dewasa yang dijadikan fondasi teori belajar orang dewasa yaitu sebagai berikut :


1) pembelajar orang dewasa akan termotivasi untuk belajar karena kebutuhan dan minat dimana belajar akan memberikan kepuasan

2) orientasi pembelajar orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan, sehingga unit-unit pembelajar sebaiknya adalah kehidupan nyata (penerapan) bukan subject matter.


3) Pengalaman adalah sumber terkaya bagi pembelajar orang dewasa, sehingga metode pembelajaran adalah analisa pengalaman (experiential learning).


4) Pembelajaran orang dewasa mempunyai kebutuhan yang mendalam untuk mengarahkan diri sendiri (self directed learning), sehingga peran guru sebagai instruktur.


5) Perbedaan diantara pembelajar orang dewasa semakin meningkat dengan bertambahnya usia, oleh karena itu pendidikan orang dewasa harus memberi pilihan dalam hal perbedaan gaya belajar, waktu, tempat dan kecepatan belajar.

Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “ Student-Centered Learning” yang intinya yaitu :
1) kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
2) Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya
3) Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan
4) Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir

Peserta didik orang dewasa menurut konsep pendidikan adalah :
1) meraka yang berperilaku sebagai orang dewasa, yaitu orang yang melaksanakan peran sebagai orang dewasa
2) meraka yang mempunyai konsep diri sebagai orang dewasa

Andragogi mulai digunakan di Netherlands oleh professor T.T Ten have pada tahun 1954 dan pada tahun 1959 ia menerbitkan garis-garis besar “Science of Andragogy”
Model andragogi mempunyai konsep bahwa : kebutuhan untuk tahu (The need to know), konsep diri pembelajar ( the learner’s concept),peran pengalaman pembelajar (the role of the leaner’s experience), kesiapan belajar ( readiness to learn), orientasi belajar (orientation of learning) dan motivasi lebih banyak ditentukan dari dalam diri si pembelajar itu sendiri.


Didalam pembelajaran orang dewasa tidak sepenuhnya harus menggunakan model andragogi, tetapi bisa digabung model pedagogi. Jika pembelajarnya belum mengetahui atau sangat asing dengan materi yang disampaikan tentunya kita bisa menggunakan model pedagogi pada awal-awal pertemuan untuk mengkonstruksi pengalaman dengan pengetahuan yang baru didapatkan, selanjutnya bisa digunakan model andragogi sebagai penguatan dan pengembangan.

TUGAS KE 6

MENJELASKAN ALIRAN FILOSOF

PERENIALISME, ESENSIALISME, KONSTRUKTIVISME, PROGRESIVISME

Progresivisme

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff.

Konstruktisme

Constructivism is a perspective of learning and cognition that is gaining a large following in recent times and its origins may be traced to the works of Piaget, Vygotsky, Dewey and Bruner. Constructivism is not a unitary concept but is a continium. One the one end is radical constructivism which attribute its origins to von Glaserfeld who proposed that reality is within the individual and knowledge is constructed from individual experience. On the other end is the notion of cognitive constructivism as suggested by Jean Piaget, who proposed that knowledge is constructed through three mechanisms; namely, assimilation (fitting is a new experience into an exisiting mental structure), accomodation (revising an existing schema because of a new experience); and Equilibrium (seeking cognitive stability through assimilation & accomodation). In between these two extremes is the notion of social constructivism which has its origins in the theories proposed by Lev Vygotsky, who gave importance to cultural and social contexts in influencing learning; namely the role of the community, the people around, significant adults, culture and language.

PANDANGAN KONSTRUKTIVISME TENTANG

PEMBELAJARAN Konstruktivisme, “merupakan rung yang melingkupi dalam psikologi psikologi, epistemology, dan pendidikan kontemporer”(Von Glasersfeld, 1997, hlm.204), gambaran tersebut adalah istilah yang secara luas digunakan oleh para filsuf, penyusun kurikulum, psikolog, pendidik, dan lainnya. Sebagian orang yang menggunakan istilah ini “menegaskan kontribusi para cendikiawan untuk menerjemahkan dan mempelajarinya melalui 2 sisi, baik itu aktivitas individu dan sosial” (Brunning, Schraw, & Ronning, 1999, hlm.215). Pandangan konstruktivisme didasari oleh oenelitian Piaget, Vygotsky, psikolgi Gestalt, Bartlett, dan Brunner, seperti juga filsafat pendidikan Jhon Dewey yang mengemukakan beberapa akar intelektual.

Tidak ada teori pembelajaran tunggal dari konstruktivisme. Sebagian besar teori dalam ilmu pengetahuan kognitif meliputi beberapa macam konstruktivisme, karena teori-teori ini menyimpulkan bahwa individu-individu membangun struktur kognitif mereka sendiri, persis seperti ketika mereka mengintepretasikan pengalaman-pengalamannya pada situasi tertentu (Palincsar, 1998). Terdapat beberapa pendekatan konstruktivisme dalam ilmu pengetahuan, pendidikan matematika, psikologi, antropologi, dan komputerisasi. Walaupun banyak psikolog dan pendidik menggunkan istilah konstruktivisme, mereka seringkali memahami dengan arti yang berbeda-beda (Marshall, 1996; McCaslin & Hickey, 2001; Phillips, 1997). Satu cara ntuk mendapatkan intisari pandangan adalah membahas dua bentuk konstruksi psikologi dan sosial (Palincsar, 1998; Phillips, 1997).

Konstruktivisme psikologi/individual.Kaum psikologi konstrktivisme

“memfokuskan dengan bagaimana individu-individu membangun elemen-elemen tertentu dari perangkat kognitif dan emosional” (Phillips, 1997, hlm.153). Kaum konstruktisme tertarik dengan pengetahuan, keyakinan, konsep diri, atau identifikasi individual, oleh sebab itu mereka kadang disebut kaum konstruktiv individual; mereka semua fokus dalam kehidupan psikologi inner manusia. Ketika Chelsea berbicara dengan tembok yang digambarkan pada bagian sebelumnya, dia mengartikan sesuatu dengan menggunakan pengetahuan dan keyakinannya secara individu.
Dengan menggunakan standar ini, teori proses informasi yang belakangan ini muncul adalah teori kaum konstruktivisme (Mayer, 1996). Pendekatan proses informasi dalam pembelajaran berkaiatan dengan pikiran manusia sebagai simbol proses system itu sendiri. Sistem ini mengubah sensor input menjadi struktur simbol (proposisi, gambaran, atau skema) lalu proses (mengulangi atau mengelaborasi) struktur simbol itu sehingga pengetahuan dapat diingat dan diolah kembali. Dunia luar dilihat sebagai sumber input, tapi ketika moment tersebut masuk ke dalam daya ingat, hal-hal yang penting, diasumsikan “sedang terjadi di dalam otak” individu (Schunk, 2000; Vera & Simon, 1993). Akan tetapi, sebagian psikolog percaya, bahwa proses informasi adalah “trivial constructivism” (konstruktivisme yang sepele), karena kontribusi konstruktiv individual hanya untuk membangun representasi yang akurat tentang dunia luar (Derry, 1992; Garrison, 1995; Marshall, 1996).

Kebalikannya, pandangan psikologi konstruktiv Piaget, sedikit memfokuskan kepada representasi yang “benar” dan lebih tertarik kepada pengertian yang dibangun oleh individu. Seperti yang kita lihat pada bagian 2, Piaget mengemukakan sebuah tingkatan kognitif yang semua manusia harus melewatinya. Dengan mempelajari setiap tingkat, akan membangun dan menggabungkan tahapan sebelumnya yang membuatnya lebih teratur dan adaptif, serta tidak terpaku dalam kejadian yang nyata. Piaget lebih memfokuskan pada hal-hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan secara umum, yang tidak bisa secara langsung dipelajari dari lngkungan—pengetahuan seperti konservasi atau resersevibilitas (Miller, 2002).

Pengetahuan-pengetahuan ini muncul dari merefleksikan dan menghubungkan kognisi atau pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi, tapi dia tidak meyakini bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam mengubah penikiran (Moshman, 1997). Beberapa psikologi pendidikan dan perkembangan, telah menempatkan jenis konstruktivisme Piaget sebagai “aliran pertama konstruktivisme” atau jenis konstruktivisme “solo” dan penegasannya mengenai proses pembentukan arti secara individual (DeCorte, Greer, and Verschaffel, 1996; Paris, Byrnes, & Paris, 2001).

Konstruktivisme Sosial Vygotsky.Seperti yang dikemukakan pada bagian 2, Vygotsky meyakini bahwa interaksi sosial, unsur-unsur budaya, dan aktivitas yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu, seperti ketika interaksi Ben di pantai dengan Ayahnya, membentuk proses pembelajaran Ben mengenai mahluk laut, menghindari bahaya, tanggung jawab lingkungan dan geografi. Dengan berpartisipasi dalam sebuah aktivitas luar dengan orang lain “learner” (individu tersebut) mendapatkan outcome (hasil interaksi) untuk kepentingannya; “mereka memperoleh strategi dan pengetahuan dunia dan budaya” (Palincsar, 1998, hlm.351-352). Menempatkan pembelajaran dalam konteks sosial budaya adalah “aliran kedua konstruktivisme” (Paris, Byrnes, & Paris, 2001).

Oleh karena teorinya sangat bergantung pada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan pembelajaran, kebanyakan psikolog mengklasifikasikan Vygotsky sebagai kaum konstruktivisme sosial (Palincsar, 1998; Prawat, 1996). Meskipun demikian, beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai kaum psikologi konstruktivisme, karena ketertarikannya dalam pengembangan individu (Moshman, 1997; Phillips, 1997). Dalam pengertian ini, Vygotsky termasuk dalam kedua kategori tersebut; konstruktivisme sosial dan psikologi konstruktivisme. Satu kelebihan teori pembejarannya adalah membuka jalan untuk kita mempertimbangkan kedua sisi tersebut; dia menjembatani kedua kategori itu. Sebagai contoh, konsep Vygotsky tentang zona pengembangan proximal—sebuah area dimana seorang anak menyelesaikan masalah dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mahir—dapat disinyalir sebagai tempat dimana budaya dan kognisi membentuk satu sama lain (Cole, 1995). Budaya membentuk kognisi ketika orang dewasa menggunakan unsur-unsur dan peristiwa dalam budaya (seperti bahasa, pemetaan, komputer, bayangan, atau musik) untuk mengarahkan anak menuju nilai-nilai budaya (seperti membaca, menulis, menenun, atau menari). Sedangkan kognisi membentuk budaya, dimana orang dewasa dan anak secara bersama-sama melalui pengalaman baru dan pemecahan masalah untuk menambah daftar kelompok-kelompok budaya (Serpell, 1993).

Istilah konstruktionisme terkadang digunakan untuk membahas bagaimana pengetahuan publik terbentuk. Meskipun bukanla merupakan unsur utama dalam psikologi pendidikan, ini penting untuk dijadikan bahan pertimbangan

Konstruktionisme.Kaum konstruktionisme sosial tidak memfokuskan dalam pembelajaran individu. Mereka fokus pada bagaimana pengetahuan publik dalam disiplin ilmu seperti sains, matematika, ekonomi atau sejarah dibangun. Diluar dari jenis pengetahuan akademis ini, kaum konstruktionisme juga tertarik dalam bagaimana ide-ide yang masuk akal, keyakinan sehari-hari, dan pengertian umum mengenai dunia dikomunikasikan kepada anggota baru kelompok sosial budaya (Gergen, 1997; Phillips, 1997). Pertanyaan yang muncul meliputi siapa yang memastikan apa itu sejarah, cara yang seharusnya dalam publik atau bagaimana dapat terpilih sebagai ketua dalam kelompok sosial. Seluruh pengetahuan dibangun secara sosial, dan lebih penting lagi, sebagian orang mempunyai kekuasaan yang lebih dari orang lain untuk mendefinisikan apa itu pengetahuan. Hubungan diantara guru, murid, keluarga, dan komunitas adalah isu utama. Kolaborasi untuk mengerti perbedaan pandangan selalu dikedepankan, dan bentuk tradisional pengetahuan seringkali diperdebatkan (Gergen, 1997). Teori Vygotsky yang memfokuskan diri pada bagaimana kognisi membentuk budaya, mempunyai beberapa elemen yang sama dengan konstruktionisme.

Kesulitan yang ada dalam kondisi ini adalah ketika didorong ke dalam pengertian relativisme secara ekstrem, semua pengetahuan dan keyakinan adalah setara, karena mereka dibangun secara bersamaan. Terdapat beberapa masalah mengenai pemikiran ini bagi pendidik. Pertama, guru memiliki tanggung jawab professional untuk menegaskan nilai-nilai seperti kejujuran, dan keadilan diatas kefanatikan dan kecurangan. Keyakinan satu dan lainnya tidaklah sama. Sebagai guru, kita mengajarkan untuk belajar dengan giat. Jika pembelajaran tidak mendapatkan pengertian yang lebih mendalam dikarenakan semua pengertian dianggap sama, David Moshman (1997) menyatakan “kita bisa saja membiarkan siswa meneruskan untuk meyakini apa yang mereka yakini” (hlm.230). Lebih jauh, ini menimbulkan bahwa beberapa ilmu pengetahuan, seperti menghitung dan korespondensi tidak dibangun tetapi bersifat umum. Menimbang bahwa koresponden adalah bagian dari kemanusiaan (Gergen, 1995; Schunk, 2000).

Pandangan-pandangan berbeda dalam konstruktivisme menimbulkan beberapa pertanyaan umum dan ketidaksamaan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan bisa terpecahkan, tetapi beberapa teori berbeda, cenderung untuk mendukung posisi-posisi yang berbeda itu.

PERENIALISME

Perenialisme artinya adalah kebenaran abadi, Tuhan-lah kebenaran abadi itu. Dialah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah-Nya, fitrah yang menjadi penerang jalan bagi manusia mengenal Tuhannya. Demikianlah Perenialisme menjadi prinsip yang meyakini bahwa kebenaran abadi itu sesuatu yang niscaya telah ada di dalam diri manusia sebagaimana Tuhan menyatakan di dalam firman-Nya bahwa manusia tercipta oleh fitrah-Nya. Fitrah itulah jalan lurus yang diberikan Tuhan kepada manusia agar sampai kepada-Nya. Maka hendaklah manusia tetap berpegang teguh pada fitrah itu karena di sanalah jalan keselamatan itu.

Perenialisme sebagai sebuah keyakinan mengimani bahwa seluruh agama, seluruh kepercayaan yang mengajak umatnya hidup dalam kesucian sambil berupaya mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan umat manusia, niscaya berasal dari Tuhan yang sama adanya. Namun simbol-simbol yang dipakai setiap agama memang berbeda, disesuaikan dengan lingkungan dan kebudayaan Utusan Tuhan yang membawanya.
Malaikat Jibril lah yang menuntunkan kepada kaum Eden sehingga kaum Eden meyakini bahwa sesungguhnya Tuhan menciptakan banyak jalan keselamatan dan tidak hanya satu jalan. Dahulu, sebelum berkenalan dengan pengajaran Malaikat Jibril di Eden, kaum Eden adalah umat Islam kebanyakan yang meyakini bahwa hanya dengan ajaran Islam lah seseorang sampai kepada Tuhan, dan barangsiapa yang tidak menjadikan Islam itu sebagai agamanya, maka tiadalah diterima amal perbuatannya dan dia termasuk orang-orang yang merugi. Tapi Malaikat Jibril menunjukkan kepada kaum Eden bahwa keyakinan semacam itu adalah kesempitan dan kesalahan di mata Tuhan.
Malaikat Jibril menuntun kaum Eden untuk mengenali ayat demi ayat di dalam kitab suci Al Quran sehingga sampailah kaum Eden pada pemahaman bahwa Islam yang rahmatan lil alamin sebagaimana yang diinginkan Tuhan adalah Islam yang Perenial, yang lapang hati terhadap umat agama lain.

Tuhan mengutus banyak nabi sebagaimana banyaknya kaum di muka bumi ini. Demikianlah keragaman jalan (agama) itu tercipta seperti keragaman budaya dan bahasa tercipta. Betapapun jalan-jalan itu berbeda, namun hakikatnya satu adanya sebagaimana berbedanya satu bahasa dengan bahasa yang lainnya adalah sebuah keniscayaan. "Meja” kata orang Indonesia, “Maktab” kata orang Arab, “Table” kata orang Inggris; namun bukankah istilah itu menunjuk pada hakekat yang sama?

Semua ajaran yang melahirkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia niscaya dari Tuhan yang sama. Niscaya Jibril jualah yang membawakan wahyunya. Kaum muslim menyebut pembawa wahyu Tuhan itu dengan nama Jibril, umat Kristen lebih akrab dengan Ruhul Kudus, orang Hindu menyebutnya Dewa Wisnu dan Dewa Surya. Sesungguhnya semua itu sama maknanya karena sesungguhnya Jibril itu sendiri adalah ruh matahari, Roh yang Suci dan dialah Perintah dan Firman Tuhan.
Maka, Malaikat Jibril menasihatkan agar umat beragama tak ribut karena bahasa dan simbol yang berbeda, padahal hakikat yang dimaksud adalah sama dan satu adanya. Seberapa banyakkah jalan Tuhan itu? Sebanyak nafas makhluk-Nya. Maka, Malaikat Jibril menasihatkan agat tak membatasi jalan-jalan Tuhan karena semua jalan menuju Tuhan yang dihikmati adalah jalan Ilahiyah.

Selain mengajarkan Al Quran, Malaikat Jibril juga mengajarkan ayat-ayat Tuhan di dalam kitab-kitab suci lainnya. Dari pengajaran Jibril itu kaum Eden mengenal ajaran-ajaran Tuhan di luar ajaran Islam yang tidak dikenal sebelumnya. Sungguh, melalui pengajaran Jibril itu kaum Eden bersaksi serta melihat Kebesaran, Keadilan dan Kemaha Pengasihan Tuhan terhadap seluruh umat-Nya. Melalui keyakinan dan pemahaman Islam perenial ini, kaum Eden menjadi lebih tenteram, damai, penuh kasih dan jauh dari sifat sombong, dan merasa diri paling benar.

Maka, Malaikat Jibril menasihatkan kepada umat beragama agar menyatukan hati dan berbahasa hati serta bersepakat di dalamnya. Dan agar umat beragama menjadikan bahasa lahir yang dimiliki umat manusia sebagai keragaman dan kekayaan besar dari Tuhan yang Maha Agung. Keragaman melahirkan dinamika, keragaman melahirkan banyak warna.

Sungguh Malaikat Jibril mengajarkan perenialisme sebagai kebenaran abadi. Sungguh kaum Eden diajarkan dan disucikan dari segala keegoan agama. Di dalam lubuk hati kaum Eden yang terdalam, tak ada perasaan bahwa kaum Eden lebih mulia dari umat Islam, Kristen, Hindu atau Buddha. Di Eden, Malaikat Jibril mengajarkan kaum Eden untuk membaca seluruh kitab suci Tuhan dari Veda, Bagavad Gita, Dhammapada, Injil, Al Quran. Bagi kaum Eden, semua kitab suci itu adalah kitab suci Tuhan yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Tak ada yang lebih tinggi dan lebih mulia dari yang lainnya.

Perenialisme yang diajarkan Malaikat Jibril membuat kaum Eden memuliakan semua Rasul Tuhan sejak Sidharta Gautama hingga Muhammad, namun terlarang bagi kaum Eden mengkultuskan para utusan itu. Kaum Eden sama sekali tak diperkenankan untuk meminta berkah dari para rasul itu karena sesungguhnya berkah itu hanya boleh kami minta dari Dia yang Esa semata.

Malaikat Jibril pun senantiasa memesankan kepada kaum Eden agar tak sampai jatuh pada keegoan kebenaran karena di sanalah awal kejatuhan semua pengikut ajaran Tuhan. Demikianlah kaum Eden dibawa menyampaikan risalah Islam yang perenial ke pesantren-pesantren dan organisasi-organisasi Islam. Demikian pula kaum Eden bersilaturahmi ke gereja-gereja, pura dan vihara untuk membawakan salam perdamaian dari Tuhan untuk seluruh umat beragama.

Semua itu adalah bagian dari amanah Tuhan yang harus dibawakan kaum Eden karena Tuhan ingin menyatakan bahwa perenialisme dan wajah agama yang perenial-lah yang dikehendaki Tuhan sebagai ajaran-Nya di penghujung akhir zaman ini. Karena perenialismelah yang dijaminkan Tuhan untuk menyatukan dan mempersaudarakan seluruh umat dan bangsa dalam perdamaian. Demikianlah kami kaum Eden menjadikan perenialisme sebagai ajaran Tuhan pada masa kini yang harus disebarkan kepada seluruh umat manusia.

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau prinsip – prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.


PANDANGAN MENGENAI KENYATAANPerenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa “reality is universal that is every where and at every moment the same “ (2:299) “ realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu.� Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian – pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.• Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu,dll• Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir• Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah – ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang – barang antic• Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap –tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.• Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti• Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng, dll• Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa – tergesa,dll• Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.

PANDANGAN MENGENAI NILAIPerenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai

kepraktisan.Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar – dasar teologis, ketuhanan.
PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUANKepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda – benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal – hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil – dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip – prinsip itu dapat dirinci menjadi :• Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya apabila si Bopeng adalah benar – benar si Bopeng ia todak akan menjadi Si Panut.• Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.• Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.• Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.• Science sebagai ilmu pengetahuanScience yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai “empiriological analysis� yakni analisa atas individual things dan peristiwa – peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya

mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.• Filsafat sebagai pengetahuanMenurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah “ilmu� metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau

kebenarannya probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum – hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum –hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.
PANDANGAN TENTANG PENDIDIKANTeori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat – filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya1. PlatoPlato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu fisafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing – masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, “dunia idea�, yang bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral dengan menggunakan akal atau ratio.Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “idea mutlak�, yaitu suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transcendental yang membimbing manusia untuk menemukan criteria moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan2. AristotelesAristoteles (384 – 322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari – hari. Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia idealPerkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek – aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa “kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir� (2:317)3. Thomas AquinasThomas berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan – kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap –tiap individu. Seorang guru bertugad untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata. Menurut J.Maritain, norma fundamental pendidikan adalah :• Cinta kebenaran• Cinta kebaikan dan keadilan• Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi• Cinta kerjasamaKaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selam berabad – abad : jadi, gagasan – gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan – permasalahan di setiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan – kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan mereka dengan binatang – binatang lain.
PANDANGAN MENGENAI BELAJARTeori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah :? Mental disiplin sebagai teori dasarPenganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.? Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan.Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan ; otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka.? Learning to Reason ( Belajar untuk Berpikir)Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.? Belajar sebagai Persiapan HidupBagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan duniawi menuju kehidupan syurgawi.? Learning through Teaching (belajar melalui Pengajaran)Adler membedakan antara “learning by instruction� dan “learning by discovery�, penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan sebenarnya learning by instruction adalah dasar dan menuju learning by discovery, sebagai self education. Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid� yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensi self discovery ; dan ia melakukan “moral authority�atas murid –muridnya, karena ia adalah seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya.